Selasa, 20 November 2012
Catatan Seorang Demonstran: Soe Hok-Gie #5
Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa lebaran, dan tahun yang lama akan segera berlalu. tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan Mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam Revolusi Indonesia. Dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibela adalah kebenaran dan kejujuran.
Quotes Soe Hok-Gie
1. Aku tak mau jadi pohon bambu, aku mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.
2. Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda.
3. Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada. berbahagialah dalam ketiadaanmu.
2. Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda.
3. Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada. berbahagialah dalam ketiadaanmu.
Statement Soe Hok-Gie
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat dimana kita tidak dapat menghindar diri lagi, maka terjunlah.
Catatan Seorang Demonstran: Soe Hok-Gie #4
Aku tak tau mengapa, aku merasa agak melankoli malam ini. aku melihat lampu-lampu kerucut dan arus lalu lintas Jakarta dengan warna-warna baru. Seolah-olah semuanya diterjemahkan dalam satu kombinasi wajah kemanusiaan.
Semuanya terasa mesra, tapi kosong. Seolah-olah aku merasa diriku yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasaiku. Aku ingin memberikan satu rasa cinta pada manusia.
Semuanya terasa mesra, tapi kosong. Seolah-olah aku merasa diriku yang lepas dan bayangan-bayangan yang ada menjadi puitis sekali di jalan-jalan. Perasaan sayang yang amat kuat menguasaiku. Aku ingin memberikan satu rasa cinta pada manusia.
Catatan Seorang Demonstran: Soe Hok-Gie #3
Manifesto politik gerakan pembaharuan, setelah kemerdekaan tercapai kenyataan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari tujuan. Kita melihat dengan penuh kecemasan bahwa pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan sekarang ini telah membawa Bangsa dan Negara Indonesia pada keadaan yang amat mengkhawatirkan. Diktator perseorangan dan golongan yang berkuasa bukan lagi merupakan bahaya diambang pintu. tetapi telah menjadi suatu kenyataan.
Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan dengan azas-azas kerakyatan dan hikmah musyawarah bahkan menindas dan memperkosanya.
Jelas sudah bagi kita bahwa istilah Demokrasi terpimpin dipakai sebagai topeng belaka justru untuk menindas dan menumpas azas-azas demokrasi itu sendiri.
Tiba saatnya bagi patriot Indonesia untuk bangkit menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan bangsa dari jurang malapetaka.
Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan dengan azas-azas kerakyatan dan hikmah musyawarah bahkan menindas dan memperkosanya.
Jelas sudah bagi kita bahwa istilah Demokrasi terpimpin dipakai sebagai topeng belaka justru untuk menindas dan menumpas azas-azas demokrasi itu sendiri.
Tiba saatnya bagi patriot Indonesia untuk bangkit menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan bangsa dari jurang malapetaka.
Catatan Seorang Demonstran: Soe Hok-Gie #2
Sejarah dunia adalah sejarah pemerasan, apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada. apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhianatan sejarah tidak akan lahir. Seolah-seolah bila kita membagi sejarah, maka yang kita jumpai hanyalah pengkhianatan. Seolah-olah dalam setiap ruang dan waktu kita hidup di atasnya. Ya, betapa tragisnya.'Hidup adalah penderitaan', kata Buddha. Dan manusia tidak bisa bebas daripadanya. Bagiku kesadaran sejarah adalah sadar akan hidup dan kesia-siaan nilai-nilai. memang hidup seperti ini tidak enak. 'Happy is the people without history', kata dosen. Dan sejarahwan adalah orang yang harus mengetahui dan mengalami hidup yang lebih berat.
Catatan Seorang Demonstran: Soe Hok-Gie #1
Kita, generasi baru ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengancam
Kita akan menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua
Kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia
Yang bekuasa sekarang adalah orang-orang yang dibesarkan di zaman Hindia-Belanda
Mereka adalah pejuang kemerdekaan ini
Tapi kini mereka telah mengkhianati apa yang diperjuangkan dan rakyat makin lama makin menderita
Aku bersamamu orang-orang malang
Siapa yang bertanggung jawab akan hal ini?
Mereka generasi tua, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak mati di Lapangan Banteng
Cuma ada kebenaran kita bisa berharap dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan
Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu
Kita akan menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua
Kitalah generasi yang akan memakmurkan Indonesia
Yang bekuasa sekarang adalah orang-orang yang dibesarkan di zaman Hindia-Belanda
Mereka adalah pejuang kemerdekaan ini
Tapi kini mereka telah mengkhianati apa yang diperjuangkan dan rakyat makin lama makin menderita
Aku bersamamu orang-orang malang
Siapa yang bertanggung jawab akan hal ini?
Mereka generasi tua, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak mati di Lapangan Banteng
Cuma ada kebenaran kita bisa berharap dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan
Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu
Jumat, 26 Oktober 2012
Aku Bukan Kepentingan Warna
Ketika aku lulus dari masa putih abu-abu, aku sempat berjanji
ketika aku berada di bangku kuliah nanti, aku tidak ingin lagi mengikuti kata
hatiku untuk berwujud sebagai organisatoris, karena aku berpikir, aku sudah
cukup untuk terjun dalam dunia tersebut, Begitu lelah dan penat yang aku terima
saat konsekuensi sebagai organisatoris itu datang. Namun aku akui begitu banyak
pengalaman yang berharga yang aku dapat sehingga lelah dan penat yang aku rasa
hanyalah sebuah omong kosong. Seiring berjalannya waktu aku masih teguh dengan
janjiku.
Aku yakin dengan waktu yang akan menjawab semua. Ketika aku
sudah tidak mampu menjawab.
Aku masuk sebuah Universitas yang cukup ternama. Disana aku
seolah menjadi bayi yang baru dilahirkan yang belum tau-menau mengenai dunia
sekeliling. Tapi aku lekas berproses di dalamnya mengenai apa semua yang ada.
Agar aku cepat tau mengenai semua. Ketika itu janjiku belum tergoyahkan. Hari
demi hari seolah aku tanpa hentinya dijejali dengan cerita-cerita kehidupan
kampus yang sungguh sangat berbeda. Disitulah aku demi sedikitnya mengingkari janjiku
karena aku mulai terhipnotis memasuki dunia bawah sadar yang seolah logikapun
tidak bisa mengarah dan meneguhkanku lagi. Pada akhirnya pun aku ingkari
janjiku dengan aku telah berwujud sebagai organisatoris kembali dalam dunia
kampus.
Tanpa sadar aku sudah terlena dengan berbagai doktrin yang
menjelma puisi indah yang dapat sanjung hati. Aku terbawa, terbawa, dan hanyut.
Aku sempat sedikit berpikir, aku bisa masuk dalam struktur itu bukan lain
karena adanya yang aku sendiri sebut sebagai nepotisme warna, bukan karena
kompetensiku. Meskipun aku sudah menunjukkan seluruh kompetensi yang aku punya.
Tapi aku hanya anggap sebagai longlongan anjing nakal dan lucu yang lewat depan
kupingku. Waktu itu aku masih abu-abu, aku masih belum tau harus berpijak
dimana. Tapi waktu itu juga aku sudah condong terhadap warna itu. Sempat juga aku dengan bangga aku berkisah
kepada rekan mengenai kecondonganku terhadap warna itu. Aku yakin akan
mendapatkan dan merasakan eksistensi dari warna itu.
Aku tidak tau apakah ini yang namanya ikatan batin antara anak
dengan ibu-bapak. Ketika ibu-bapak mengetahui anaknya berhubungan dengan hal
itu semua, tidak tau mereka harus tau darimana. Sontak mereka langsung menolak.
Tapi aku masih kepala batu, berusaha memberikan pengertian, meyakinkan, dan
masih ngotot. Namun itu sia-sia, ketika seorang bapak mengatakan beberapa
kalimat yang pada akhirnya aku tau alasan mereka mengapa. Bukan karena ketakutan
semata. Sekaligus yang menyadarkan dan aku menyadari aku tidak bisa hidup,
tidak bisa kuliah tanpa kucuran keringat mereka.
Aku memilih mengundurkan diri karena dinamika politik kampus,
karena menurutku akan percuma ketika aku masih bertahan tanpa ada campur tangan
warna di belakangku, aku akan tetap di bawah tanpa ada perkembangan yang aku
rasa signifikan.
Keputusan saya sudah bulat,independensi diri untuk peningkatan kualitas diri & tidak di bawah tekanan dr pihak manapun menuju kebebasan diri
Keputusan saya sudah bulat,independensi diri untuk peningkatan kualitas diri & tidak di bawah tekanan dr pihak manapun menuju kebebasan diri
Senin, 22 Oktober 2012
Aku Seorang Mahasiswa?
Sudahkah aku pantas disebut sebagai seorang mahasiswa? Sebuah nama yang begitu sakral untuk disandang. Sebutan bagi para kaum intelektual. Sebutan mahasiswa yang selalu didengungkan sebagai agent of change, social control, dan iron stock. Tentunya mahasiswa tidaklah pantas untuk dikultuskan dengan perannya yang seolah menjadi seorang pahlawan. Ketika pada suatu kota terpencil yang dikuasai oleh para penyamun, pahlawan itu datang dan mengusir para penyamun itu. Seketika berhasil mengusir para penyamun, pahlawan itu pergi sehingga dielu-elukan oleh masyarakat kota tersebut.
Apakah mahasiswa sudah pantas disebut agent of change? Ketika mahasiswa seolah telah mati. aku mati. Tidak memperduliikan apa yang terjadi di di sekitar lingkungannya. Sementara aku hanya sibuk dengan tumpukan buku-buku, bangku kuliah, dan kepentingan pribadi. Sekalipun mengusap kacamata baca yang kotor karena begitu kutu bukunya. Aku hanya melihat dengan tatapan kosong saudara-saudaraku bersimbah luka, kelaparan, kebodohan, dan kemelaratan. Dimana arti aku seorang mahasiswa sebagai agent of change yang berkewajiban merubah sebagian ataupun seluruh tatanan masyarakat untuk meraih masyarakat yang sejahtera. Aku terdiam tanpa bisa menjawab, apa arti sesungguhnya dari agent of change ketika apatis menaungi aku.
Disaat mahasiswa sebagai social control, apakah aku harus berubah menjadi seorang preman dengan segala kekerasannya untuk memenuhi kewajiban sebagai social control. Pengontrol bagi kehidupan sosial masyarakat. Aku merasa sedih ketika melihat rekan-rekanku bertikai yang mengatasnamakan rakyat tapi pada dasarnya mereka hanya ingin memenuhi kepentingan mereka sendiri, sekalipun untuk kepentingan warna mereka. Baku hantam, lempar batu, mengacungkan senjata seolah itu semua yang mereka dapat di bangku kuliah. Masyarakat bukannya merasa semakin aman tapi malah merasa semakin resah dengan dengan kelakuan mereka yang barbar. Pertanyaan klasikku muncul kembali apakah dengan cara itu mahasiswa sebagai social control dapat terlaksana. Aku kembali terdiam tanpa bisa menjawab apa arti sesungguhnya dari social control ketika anarkis menguasai aku.
Peran yang paling vital adalah pada saat mahasiswa sebagai iron stock ketika pemimpin-pemimpin yang menduduki jabatan struktural di atas telah uzur, maka aku sebagai seorang mahasiswa saat ini akan mengambil alih tempat mereka nantinya. Tapi aku sempat merasa takut. ketika nanti aku sudah berada di puncak dan pada zona nyaman, semua tentang idealisku akan terbungkam oleh sistem yang menjadi tiang dalam struktur itu. Sama seperti pendahuluku yang telah menjadi pemimpin sekarang ini, dulu mereka begitu lantang meneriakkan idealisme mereka masing-masing. Tapi sekarang mereka seolah terbungkam dengan kenyamanan, segala fasilitas, tunjangan, dan jaminan segala macamnya. Mereka menikmati semua ketika rakyat masih mengais receh demi sesuap nasi di negeri yang subur ini, Tuhan. Apakah ini iron stock sesungguhnya? Pertanyaan bodoh yang kembali ditanyakan, karena sudah jelas jawaban itu sudah ada di depan mata dan kupingku. Aku terdiam lagi tanpa harus bisa menjawab. Apakah ketakutanku ini benar adanya mengenai iron stock, ketika sebuah egois akan menghantuiku nantinya.
Aku seorang Mahasiswa-kah?
Apakah mahasiswa sudah pantas disebut agent of change? Ketika mahasiswa seolah telah mati. aku mati. Tidak memperduliikan apa yang terjadi di di sekitar lingkungannya. Sementara aku hanya sibuk dengan tumpukan buku-buku, bangku kuliah, dan kepentingan pribadi. Sekalipun mengusap kacamata baca yang kotor karena begitu kutu bukunya. Aku hanya melihat dengan tatapan kosong saudara-saudaraku bersimbah luka, kelaparan, kebodohan, dan kemelaratan. Dimana arti aku seorang mahasiswa sebagai agent of change yang berkewajiban merubah sebagian ataupun seluruh tatanan masyarakat untuk meraih masyarakat yang sejahtera. Aku terdiam tanpa bisa menjawab, apa arti sesungguhnya dari agent of change ketika apatis menaungi aku.
Disaat mahasiswa sebagai social control, apakah aku harus berubah menjadi seorang preman dengan segala kekerasannya untuk memenuhi kewajiban sebagai social control. Pengontrol bagi kehidupan sosial masyarakat. Aku merasa sedih ketika melihat rekan-rekanku bertikai yang mengatasnamakan rakyat tapi pada dasarnya mereka hanya ingin memenuhi kepentingan mereka sendiri, sekalipun untuk kepentingan warna mereka. Baku hantam, lempar batu, mengacungkan senjata seolah itu semua yang mereka dapat di bangku kuliah. Masyarakat bukannya merasa semakin aman tapi malah merasa semakin resah dengan dengan kelakuan mereka yang barbar. Pertanyaan klasikku muncul kembali apakah dengan cara itu mahasiswa sebagai social control dapat terlaksana. Aku kembali terdiam tanpa bisa menjawab apa arti sesungguhnya dari social control ketika anarkis menguasai aku.
Peran yang paling vital adalah pada saat mahasiswa sebagai iron stock ketika pemimpin-pemimpin yang menduduki jabatan struktural di atas telah uzur, maka aku sebagai seorang mahasiswa saat ini akan mengambil alih tempat mereka nantinya. Tapi aku sempat merasa takut. ketika nanti aku sudah berada di puncak dan pada zona nyaman, semua tentang idealisku akan terbungkam oleh sistem yang menjadi tiang dalam struktur itu. Sama seperti pendahuluku yang telah menjadi pemimpin sekarang ini, dulu mereka begitu lantang meneriakkan idealisme mereka masing-masing. Tapi sekarang mereka seolah terbungkam dengan kenyamanan, segala fasilitas, tunjangan, dan jaminan segala macamnya. Mereka menikmati semua ketika rakyat masih mengais receh demi sesuap nasi di negeri yang subur ini, Tuhan. Apakah ini iron stock sesungguhnya? Pertanyaan bodoh yang kembali ditanyakan, karena sudah jelas jawaban itu sudah ada di depan mata dan kupingku. Aku terdiam lagi tanpa harus bisa menjawab. Apakah ketakutanku ini benar adanya mengenai iron stock, ketika sebuah egois akan menghantuiku nantinya.
Aku seorang Mahasiswa-kah?
Kamis, 18 Oktober 2012
Surat Soe Hok-Gie
Dan mereka tidak berpikir kreatip, terlalu pragmatis. Kadang saja takut memikirkan masa depan.
Minggu2 ini saja banjak berpikir. Lebih2 sedjak saja pulang dari gunung. Mungkin karena kurang pekerdjaan dan saja mentjoba mengadakan introspeksi pada diri saja sendiri. Tidak ada perasaan sedih, tak ada perasaan menjesal, ja tidak ada perasaan apa2. Seolah2 semuanja sebagai angin dingin jang menggigilkan, tetapi saja tak punja pilihan lain ketjuali kenerimanja. Saja tak punja kegariahan seperti setahun jang lalu. Mungkin saja telah terlalu lelah, dan ingin menjelesaikan skripsi saja. Mungkin djuga semuanja ini sematjam tanda bahwa dunia saja telah berlainan dengan dunia teman2 jang lebih muda. Dipintu rasanja telah mengetuk suara2 halus jang menjilahkan saja untuk meningglakan dunia jang begitu lama saja gauli. Bersama tertawa, bertengkar, ngobrol, dllnja. Saja akan hadapi semuannja.
Mungkin surat ini agak aneh untukmu. Dan mungkin surat seperti ini tidak kau harapkan. Kalau demikian maafkan, saja ha ja sekedar ngeluh pada kamu. Selamat kerdja, dan sampai lain kali.
Minggu2 ini saja banjak berpikir. Lebih2 sedjak saja pulang dari gunung. Mungkin karena kurang pekerdjaan dan saja mentjoba mengadakan introspeksi pada diri saja sendiri. Tidak ada perasaan sedih, tak ada perasaan menjesal, ja tidak ada perasaan apa2. Seolah2 semuanja sebagai angin dingin jang menggigilkan, tetapi saja tak punja pilihan lain ketjuali kenerimanja. Saja tak punja kegariahan seperti setahun jang lalu. Mungkin saja telah terlalu lelah, dan ingin menjelesaikan skripsi saja. Mungkin djuga semuanja ini sematjam tanda bahwa dunia saja telah berlainan dengan dunia teman2 jang lebih muda. Dipintu rasanja telah mengetuk suara2 halus jang menjilahkan saja untuk meningglakan dunia jang begitu lama saja gauli. Bersama tertawa, bertengkar, ngobrol, dllnja. Saja akan hadapi semuannja.
Mungkin surat ini agak aneh untukmu. Dan mungkin surat seperti ini tidak kau harapkan. Kalau demikian maafkan, saja ha ja sekedar ngeluh pada kamu. Selamat kerdja, dan sampai lain kali.
Ttd
Soe Hok-Gie
Salem, 29 Oktober 1968 ~Soe Hok-Gie
Saya mimpi tentang sebuah dunia,
Dimana ulama? buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata? Stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apapun.
Dan para politisi di PBB,
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.
Tak ada lagi ras benci pada siapa pun,
Agama apa pun, rasa apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia
yang lebih baik.
Tuhan? Saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.
Dimana ulama? buruh dan pemuda,
Bangkit dan berkata? Stop semua kemunafikan,
Stop semua pembunuhan atas nama apapun.
Dan para politisi di PBB,
Sibuk mengatur pengangkutan gandum, susu, dan beras
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua,
Dan lupa akan diplomasi.
Tak ada lagi ras benci pada siapa pun,
Agama apa pun, rasa apa pun, dan bangsa apa pun,
Dan melupakan perang dan kebencian,
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia
yang lebih baik.
Tuhan? Saya mimpi tentang dunia tadi,
Yang tak pernah akan datang.
Aku dan Gelisah dalam Sebuah Miniatur
Aku tidak tau tentang dinamika yang ada. Dalam sebuah miniatur, dimana idealisme diagungkan. Apakah miniatur ini hanya sebagai tempat untuk duduk di belakang meja mendengarkan lisan seorang atau beberapa orang cendikia?
Tentunya tidaklah sesederhana dan sesempit itu seperti masa putih abu-abu. Berbagai polemik ataupun intrik akan selalu terjadi dalam miniatur ini. Manusia-manusia baru yang masuk dalam miniatur ini, tanpa sadar dipaksa memasuki sebuah ranah yang belum diketahui sebelumnya. Doktrin-doktrin seolah menjadi puisi indah yang diberikan kepada manusia-manusia baru itu. Dengan harapan tentunya manusia-manusia baru itu dapat terlena dengan puisi-puisi indahnya.
Aku tidak tau mana yang baik dan mana yang benar, karena pada hakikinya tidak ada yang salah. Dan aku seolah menjadi seorang yang buta, buta warna dengan beragamnya warna yang menjadi bayang-bayang miniatur itu. Aku hanya bisa beranggapan, hanyalah kepentingan mendasari itu semua. Menurutku, mereka akan hanya dijadikan motor penggerak bagi kepentingan masing-masing warna.
Idelisme masing-masing individu seolah terlebur dalam idealisme warna yang hanya berdasarkan kepentigan semata.
Semua warna itu terlihat saling sikut untuk merengkuh manusia-manusia baru itu. Tidak lain adalah ingin sebagai kuasa dalam miniatur itu. Sistem seolah menjadi tujuan tujuan utama untuk dapat mendudukinya. Itulah kepentingan, kepentingan politis sebuah miniatur.
Jujur aku lelah melihat itu semua, aku jenuh merasa itu semua, dan aku penat jika harus berhadapan itu semua. Aku merasa tetap ingin menjadi orang yang buta warna, menikmati indahnya miniatur ini yang tersembunyi dibaliknya dengan kebebasan diri tanpa adanya tekanan darisiapapun dan darimanapun. Dan aku lebih memilih menjadi bodoh mengenai hal itu semua.
Tentunya tidaklah sesederhana dan sesempit itu seperti masa putih abu-abu. Berbagai polemik ataupun intrik akan selalu terjadi dalam miniatur ini. Manusia-manusia baru yang masuk dalam miniatur ini, tanpa sadar dipaksa memasuki sebuah ranah yang belum diketahui sebelumnya. Doktrin-doktrin seolah menjadi puisi indah yang diberikan kepada manusia-manusia baru itu. Dengan harapan tentunya manusia-manusia baru itu dapat terlena dengan puisi-puisi indahnya.
Aku tidak tau mana yang baik dan mana yang benar, karena pada hakikinya tidak ada yang salah. Dan aku seolah menjadi seorang yang buta, buta warna dengan beragamnya warna yang menjadi bayang-bayang miniatur itu. Aku hanya bisa beranggapan, hanyalah kepentingan mendasari itu semua. Menurutku, mereka akan hanya dijadikan motor penggerak bagi kepentingan masing-masing warna.
Idelisme masing-masing individu seolah terlebur dalam idealisme warna yang hanya berdasarkan kepentigan semata.
Semua warna itu terlihat saling sikut untuk merengkuh manusia-manusia baru itu. Tidak lain adalah ingin sebagai kuasa dalam miniatur itu. Sistem seolah menjadi tujuan tujuan utama untuk dapat mendudukinya. Itulah kepentingan, kepentingan politis sebuah miniatur.
Jujur aku lelah melihat itu semua, aku jenuh merasa itu semua, dan aku penat jika harus berhadapan itu semua. Aku merasa tetap ingin menjadi orang yang buta warna, menikmati indahnya miniatur ini yang tersembunyi dibaliknya dengan kebebasan diri tanpa adanya tekanan darisiapapun dan darimanapun. Dan aku lebih memilih menjadi bodoh mengenai hal itu semua.
Rabu, 17 Oktober 2012
Lirik 'Cahaya Bulan' Ost. GIE
Perlahan sangat pelan hingga terang kan menjelang
Cahaya kota kelam mesra menyambut sang petang
Disini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa matahari terbit menghangatkan bumi
Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang
Perlahan sangat pelan hingga terang 'kan menjelang
Cahayanya lebih besar mencuat runtuhkan bayang
Disini ku berdiskusi dengan alam yang lirih
Kenapa indah pelangi tak berujung sampai di bumi
Aku orang malam yang membicarakan terang
Aku orang tenang yang menentang kemenangan oleh pedang
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang tak 'kan pernah ku tau
Dimana jawaban itu
Bagai letusan berapi
Mengungkapku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati
Terangi dengan cinta di gelapku
Kataku 'kan melumpuhkanku
Terangi dengan cinta di sesakku
Dimana jawaban itu
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang tak 'kan pernah ku tau
Dimana jawaban itu
Bagai letusan berapi
Mengungkapku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati. . .hati. . . .
Selasa, 16 Oktober 2012
Senin, 15 Oktober 2012
Puisi Soe Hok-Gie
Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Mirazza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di area perang
Tapi aku ingin mati di sisimu manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satupun setan tau
Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita tak akan pernah kehilangan apa-apa
By: Soe Hok-Gie
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Mirazza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di area perang
Tapi aku ingin mati di sisimu manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satupun setan tau
Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra yang pernah baik dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita tak akan pernah kehilangan apa-apa
By: Soe Hok-Gie
Puisi Soe Hok-Gie
Akhirnya semua akan tiba pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
Kabut tipispun turun pelan-pelan di lembah kasih lembah mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah hati mesra lebih dekap
Apakah kau masih akan berkata,
Kudengar detak jantungku
Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta
Haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu
Haripun menjadi malam kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu
By : Soe Hok-Gie
Langganan:
Komentar (Atom)





