Ketika aku lulus dari masa putih abu-abu, aku sempat berjanji
ketika aku berada di bangku kuliah nanti, aku tidak ingin lagi mengikuti kata
hatiku untuk berwujud sebagai organisatoris, karena aku berpikir, aku sudah
cukup untuk terjun dalam dunia tersebut, Begitu lelah dan penat yang aku terima
saat konsekuensi sebagai organisatoris itu datang. Namun aku akui begitu banyak
pengalaman yang berharga yang aku dapat sehingga lelah dan penat yang aku rasa
hanyalah sebuah omong kosong. Seiring berjalannya waktu aku masih teguh dengan
janjiku.
Aku yakin dengan waktu yang akan menjawab semua. Ketika aku
sudah tidak mampu menjawab.
Aku masuk sebuah Universitas yang cukup ternama. Disana aku
seolah menjadi bayi yang baru dilahirkan yang belum tau-menau mengenai dunia
sekeliling. Tapi aku lekas berproses di dalamnya mengenai apa semua yang ada.
Agar aku cepat tau mengenai semua. Ketika itu janjiku belum tergoyahkan. Hari
demi hari seolah aku tanpa hentinya dijejali dengan cerita-cerita kehidupan
kampus yang sungguh sangat berbeda. Disitulah aku demi sedikitnya mengingkari janjiku
karena aku mulai terhipnotis memasuki dunia bawah sadar yang seolah logikapun
tidak bisa mengarah dan meneguhkanku lagi. Pada akhirnya pun aku ingkari
janjiku dengan aku telah berwujud sebagai organisatoris kembali dalam dunia
kampus.
Tanpa sadar aku sudah terlena dengan berbagai doktrin yang
menjelma puisi indah yang dapat sanjung hati. Aku terbawa, terbawa, dan hanyut.
Aku sempat sedikit berpikir, aku bisa masuk dalam struktur itu bukan lain
karena adanya yang aku sendiri sebut sebagai nepotisme warna, bukan karena
kompetensiku. Meskipun aku sudah menunjukkan seluruh kompetensi yang aku punya.
Tapi aku hanya anggap sebagai longlongan anjing nakal dan lucu yang lewat depan
kupingku. Waktu itu aku masih abu-abu, aku masih belum tau harus berpijak
dimana. Tapi waktu itu juga aku sudah condong terhadap warna itu. Sempat juga aku dengan bangga aku berkisah
kepada rekan mengenai kecondonganku terhadap warna itu. Aku yakin akan
mendapatkan dan merasakan eksistensi dari warna itu.
Aku tidak tau apakah ini yang namanya ikatan batin antara anak
dengan ibu-bapak. Ketika ibu-bapak mengetahui anaknya berhubungan dengan hal
itu semua, tidak tau mereka harus tau darimana. Sontak mereka langsung menolak.
Tapi aku masih kepala batu, berusaha memberikan pengertian, meyakinkan, dan
masih ngotot. Namun itu sia-sia, ketika seorang bapak mengatakan beberapa
kalimat yang pada akhirnya aku tau alasan mereka mengapa. Bukan karena ketakutan
semata. Sekaligus yang menyadarkan dan aku menyadari aku tidak bisa hidup,
tidak bisa kuliah tanpa kucuran keringat mereka.
Aku memilih mengundurkan diri karena dinamika politik kampus,
karena menurutku akan percuma ketika aku masih bertahan tanpa ada campur tangan
warna di belakangku, aku akan tetap di bawah tanpa ada perkembangan yang aku
rasa signifikan.
Keputusan saya sudah bulat,independensi diri untuk peningkatan kualitas diri & tidak di bawah tekanan dr pihak manapun menuju kebebasan diri
Keputusan saya sudah bulat,independensi diri untuk peningkatan kualitas diri & tidak di bawah tekanan dr pihak manapun menuju kebebasan diri





